JAKARTA, Fraksigerindra.id — Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Conference of the Parties ke-29 (COP-29) yang digelar di Baku, Azerbaijan. Anggota BKSAP DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang turut hadir menyampaikan komitmen dan langkah strategis yang bisa dilakukan dunia global dalam mewujudkan adaptasi iklim.

“Kami mengajak insan parlemen global melakukan beberapa langkah dalam kerangka adaptasi iklim,” kata Rahayu Saraswati dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Senin (18/11/2024).

Konferensi COP yang diselenggarakan setahun sekali ini menjadi perhelatan penting karena menjadi wadah untuk merundingkan pendekatan terbaik dalam mengatasi akar penyebab dan solusi dalam menghadapi perubahan iklim. Inilah satu-satunya forum pengambilan keputusan multilateral di dunia tentang perubahan iklim di mana pihak-pihak terkait dari berbagai sektoral berkumpul

COP diikuti oleh negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian yang disebut UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) atau Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Dokumen tersebut ditandatangani pada 1992 oleh hampir 200 negara.

Oleh karenanya, COP dihadiri perwakilan hampir 200 negara mulai dari pihak Pemerintah, Parlemen (politisi), Diplomat, pelobi bahan bakar fosil, aktivis lingkungan, anggota LSM, pelaku bisnis (termasuk perusahaan), kelompok agama, ilmuwan, hingga masyarakat adat. COP kali ini dilaksanakan di Azerbaijan.

Pesan dari BKSAP sendiri disampaikan pada perhelatan Parliamentary COP-29, Sabtu (16/11), yang merupakan forum khusus bagi anggota parlemen-parlemen negara global di KTT Perubahan Iklim PBB tersebut. Pada forum itu, Rahayu Saraswati menyampaikan beberapa langkah yang bisa dilakukan parlemen-parlemen dunia untuk mengatasi perubahan iklim.

“Pertama, mendorong pendidikan dan pelatihan warga lokal sehingga memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan iklim secara berkelanjutan,” ujar perempuan yang karib disapa dengan panggilan Sara ini.

Kemudian, Sara menyebut parlemen harus memastikan pengambilan keputusan yang transparan dan inklusif. Langkah penting yang disampaikan selanjutnya adalah kerja sama parlemen global dalam mengatasi perubahan iklim.

“Terkait inklusivitas pada isu perubahan iklim, kita perlu memastikan adanya keterwakilan perempuan, kelompok penyandang disabilitas, dan masyarakat adat (indigenous people) di parlemen,” paparnya.

Di hadapan anggota parlemen anggota COP, Sara pun menyinggung ketimpangan antara negara maju dengan negara berkembang terkait penanganan karbon lantaran negara-negara maju adalah yang paling banyak berkontribusi terhadap krisis iklim.

“Negara-negara maju melakukan eksploitasi terhadap negara-negara berkembang di era Revolusi Industri yaitu saat emisi karbon mulai berlimpah,” sebut Sara.

Karena hal itu, Sara mengingatkan negara maju untuk memberi bantuan kepada negara-negara berkembang untuk pembangunan yang dapat mengatasi perubahan iklim. Apalagi di COP-29 menghasilkan kesepakatan baru berupa dukungan finansial dari negara-negara kaya kepada negara-negara yang terkena dampak terburuk di belahan bumi selatan, salah satunya seperti yang didapat Indonesia.

Anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan perindustrian ini juga menyebut dukungan finansial sangat diperlukan bagi negara berkembang yang memiliki peran penting dalam adaptasi iklim. Dengan begitu, kata Sara, negara berkembang juga bisa bertransformasi sebagai negara yang berkelanjutan.

“Maka negara-negara miskin dan berkembang berhak memiliki akses untuk mendapatkan bantuan keuangan untuk adaptasi iklim. Dunia usaha dan bisnis juga harus berperan dalam adaptasi tersebut,” tegas Politisi Fraksi Partai Gerindra ini.

Sebagai informasi, Indonesia mendapat kesepakatan pendanaan hijau sebesar €1,2 miliar (sekitar Rp20,18 triliun) untuk pengembangan energi bersih dalam KTT iklim PBB (COP-29) ini.

Pendanaan hijau yang menjadi agenda pembahasan utama pada COP-29 adalah pendanaan yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis iklim. Misalnya untuk peralihan ke energi bersih, membangun infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim, hingga membangun sistem peringatan dini.

Di sisi lain, Sara juga menyinggung soal langkah Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim. Indonesia diketahui menetapkan target penurunan emisi hingga 31,89 persen pada 2030 dengan upaya sendiri, dan 43,2 persen dengan bantuan internasional.

Sementara pada 2060, Indonesia ingin memangkas emisi gas rumah kaca hingga 100 persen atau net zero emission. Indonesia pun selalu mengikuti COP sejak pertama kali diadakan pada 1995 dan pernah menyelenggarakan COP ke-13 pada Desember 2007 di Bali.

“Indonesia secara umum dapat beradaptasi sangat baik terkait perubahan iklim kendati dengan populasi sekitar 280 juta jiwa atau populasi terbesar keempat di dunia dengan bonus demografi sangat besar, yakni sekitar lebih dari 52 persen generasi Z dan milenial,” urai Sara.

Berdasarkan Global Climate Atlas, Indonesia menyumbang 1,7 persen dari total emisi global pada 2021. Menurut Sara, bonus demografi sebagai tantangan Indonesia dapat diberi peran dalam membantu adaptasi iklim.

“Demikian pula Indonesia mampu mengatasi tantangan lain yang dihadapi dunia global karena perubahan iklim,” ungkap Legislator dari Dapil DKI Jakarta III tersebut..

Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *