JAKARTA, Fraksigerindra.id — Budaya korupsi melalui gratifikasi kerap kali terjadi saat proses Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB). Modusnya adalah jelang masa-masa akhir seleksi pengumuman PPDB, tiba-tiba informasi pengumuman tidak bisa diakses.
KPK pun telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 7 Tahun 2024 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi dalam Penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024. Ditetapkan pada 16 Mei 2024 lalu, melalui SE ini PPDB diharapkan bisa bersifat transparan dan akuntabel.
Merespons hal ini, Anggota Komisi X DPR RI Nuroji mendukung upaya KPK dalam memberantas budaya gratifikasi di lingkungan pendidikan terutama saat berlangsungnya Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB). Hal tersebut diungkapkannya usai mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Panja Pembiayaan Pendidikan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/6/2024).
“Saya sangat mendukung upaya KPK untuk turun langsung ke sekolah-sekolah memberantas praktek gratifikasi di dunia pendidikan. Terutama momentum pendaftaran siswa baru saat ini sudah menjadi rahasia umum marak praktek gratifikasi di lingkungan sekolah dari semua tingkatan, baik SD, SMP hingga SMA,” tegas Nuroji.
Politisi Fraksi Partai Gerindra ini merasa geram dengan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di lembaga pendidikan yang seolah belum ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum. Padahal, menurutnya, jika diselidiki secara seksama maka praktek gratifikasi mudah sekali ditemukan.
“Salah satu modusnya biasanya menjelang pengumuman hasil seleksi PPDB tiba-tiba website-nya ‘hang’ atau error’ sehingga susah diakses oleh masyarakat. Nah saat jaringan ‘hang’ itulah sebenarnya mereka sedang utak-atik atau ada campur tangan orang yang berwenang di situ. Besoknya begitu bisa diakses tiba-tiba anak saya terlempar dari deretan nama siswa yang diterima,” ungkap Legislator asal Dapil Kota Depok dan Kota Bekasi ini menceritakan pengalamannya ikut PPDB anaknya.
Nuroji menambahkan banyak pihak yang menyalahgunakan jabatan tertentu untuk menekan kepala sekolah, aksi titip-menitip slot bangku sekolah, dan lebih parahnya jatah bangku sekolah ada yang diperjualbelikan.
“Kekuasaan sekecil apapun jika disalahgunakan, menurut saya, itu sudah bisa disebut korupsi. Kepala sekolah juga harus selektif dengan berbagai modus orang agar lolos PPDB. Misalnya dengan jalur prestasi bermodalkan sertifikat, itu harus diuji kebenarannya jangan sampai dibohongi sertifikat palsu. Benar tidak si anak itu penari, atau atlit dan sebagainya,” jelasnya.
Nuroji menilai kebijakan pemerintah kota juga harus tegas, seperti di Kota Bogor dalam menerapkan aturan terkait sistem PPDB ini.
“Sebagai Anggota DPR RI apalagi duduk di Komisi X DPR RI saya tidak mau melayani permintaan konstituen kalau soal titip-menitip PPDB ini dari tingkat SD sampai SMA. Penyalahgunaan wewenang menurut saya bisa merusak sistem. Bahkan anak saya sendiri tidak lolos PPDB ya saya masukkan ke sekolah swasta dan alhamdulilah bisa masuk UI dan lulus,” pungkasnya.