JAKARTA, Fraksigerindra.id — Komisi III DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Badan Keahlian (BK) Setjen DPR RI untuk membahas pokok-pokok pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Rapat yang berlangsung di ruang Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2024), dipimpin oleh Ketua Komisi III, Habiburokhman, yang menyoroti perlunya langkah revolusioner dalam reformasi sistem hukum pidana Indonesia.
Habiburokhman menyoroti institusi praperadilan yang saat ini dinilai terlalu pasif. Ia mengusulkan agar praperadilan dapat berperan lebih aktif dalam menjamin keadilan, khususnya dalam penahanan. “Saat ini, institusi praperadilan masih bersifat pasif. Kita harus mempertimbangkan apakah institusi ini bisa lebih aktif dalam menjamin keadilan bagi masyarakat, terutama dalam konteks penahanan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti lamanya masa penahanan sebelum tersangka dinyatakan bersalah. Proses hukum yang dapat memakan waktu hingga 90 hari atau lebih dianggap menimbulkan ketidakpuasan masyarakat. “Proses hukum saat ini bisa memakan waktu hingga 90 hari atau bahkan lebih, meski belum tentu terbukti bersalah,” ujar Habiburokhman. Ia meminta BKD dan tim ahli Komisi III mengkaji model penahanan di negara-negara lain sebagai referensi untuk reformasi.
Poin penting lainnya adalah penguatan perlindungan hak-hak tersangka. Habiburokhman menekankan perlunya penegasan aturan terkait akses tersangka terhadap penasihat hukum, keluarga, pelayanan kesehatan, dan rohaniawan. Ia mengkritisi implementasi yang sering kali tidak maksimal, termasuk pembatasan oleh surat edaran institusi penegak hukum.
“Misalnya, hak tersangka untuk mendapatkan penasihat hukum sering kali dibatasi oleh surat edaran institusi penegak hukum. Ini perlu diatur lebih tegas,” jelasnya.
Hak advokat juga mendapat perhatian. Habiburokhman menekankan bahwa advokat harus memiliki ruang lebih besar untuk melindungi tersangka. “Advokat tidak boleh hanya berhak diam, duduk, dan mencatat. Mereka harus diberi ruang untuk benar-benar melindungi hak-hak tersangka,” tambahnya.
Kasus-kasus kekerasan terhadap tersangka, seperti yang terjadi baru-baru ini di Palu, menjadi sorotan utama. Habiburokhman menyerukan perlunya protokol jelas untuk meminimalkan risiko kekerasan dalam proses hukum. “Jangan sampai ada lagi tersangka yang masuk dalam kondisi sehat tetapi keluar dalam keadaan bonyok atau bahkan meninggal dunia,” tegasnya.
Habiburokhman juga menekankan pentingnya pendekatan restorative justice sebagai jiwa dari KUHAP yang baru. Ia menyoroti bahwa pendekatan ini harus memperhatikan hak korban kejahatan selain hak tersangka. “Fokus kita bukan hanya pada hak tersangka, tetapi juga hak korban kejahatan,” ujarnya.