Berita Parlemen

Revisi UU TNI Disahkan, Hergun Sebut Sejalan dengan Semangat Reformasi

IMG 20250113 WA0028

JAKARTA, Fraksigerindra.id — Rapat Paripurna DPR RI Ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025), menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) untuk disahkan menjadi undang-undang.

Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Heri Gunawan, menegaskan bahwa revisi UU TNI dilakukan berdasarkan semangat reformasi dan tidak bertentangan dengan demokrasi. Ia menyebut revisi ini merupakan langkah maju dalam reformasi TNI guna beradaptasi dengan dinamika pertahanan modern.

“Revisi UU TNI dimaksudkan untuk memperkuat sistem pertahanan kita agar bisa menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Perlu kami tegaskan, tidak ada upaya untuk mendominasi ranah sipil dan politik dengan militer. Selain itu, fungsi pengawasan tetap dilakukan oleh DPR RI, sesuai dengan kewenangannya,” ujar Heri Gunawan, Kamis (20/3/2025).

Heri Gunawan yang akrab disapa Hergun membantah isu bahwa revisi UU TNI bertujuan menghidupkan kembali dwifungsi militer. Ia menegaskan bahwa substansi perubahan dalam UU ini tetap sejalan dengan semangat reformasi.

“Tidak ada upaya mengembalikan dwifungsi TNI dalam revisi UU TNI. Fraksi Gerindra menjamin revisi UU ini sejalan dengan semangat reformasi,” katanya.

Politisi yang berasal dari Dapil Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) ini membeberkan penjelasan lengkap mengenai pasal demi pasal yang diubah dalam revisi UU TNI.

Pasal 3: Kedudukan TNI dalam Sistem Pertahanan Negara

Revisi UU TNI menegaskan bahwa TNI berada di dalam Kementerian Pertahanan (Kemhan), bukan di bawahnya. Hal ini bertujuan untuk memastikan TNI tetap memiliki otoritas dalam aspek pertahanan tanpa mengubah mekanisme komando yang ada.

“Koordinasi ini bertujuan agar kebijakan pertahanan selaras dengan kebutuhan strategis di lapangan. Poin ini hanya mempertegas amanat Pasal 10 UUD 1945 bahwa Presiden merupakan panglima tertinggi yang memegang komando atas TNI,” ujarnya.

Pasal 7: Perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP)

Revisi UU TNI memperluas cakupan OMSP, khususnya dalam menghadapi ancaman siber dan perlindungan WNI di luar negeri. TNI kini memiliki peran dalam membantu pemerintah menanggulangi serangan siber serta melindungi dan menyelamatkan WNI dalam situasi darurat.

“Ancaman pertahanan kini bukan hanya fisik, tetapi juga digital dan transnasional. Revisi ini memastikan TNI siap menghadapi tantangan zaman,” ujar Hergun.

Dalam revisi ini, kata Hergun, operasi OMSP yang melibatkan pertempuran, seperti penanganan separatisme, harus diatur dalam peraturan pemerintah (PP) dan wajib dilaporkan ke DPR sebelum dilaksanakan. Jika DPR tidak menyetujui, operasi tersebut harus dihentikan.

“TNI tidak akan masuk ke ranah yang tidak berkaitan dengan pertahanan negara. Ini murni untuk memastikan negara memiliki kesiapan menghadapi ancaman pertahanan modern,” tegasnya.

Pasal 47: Penempatan Prajurit Aktif di Kementerian/Lembaga

Revisi UU TNI menambah jumlah kementerian/lembaga (K/L) yang dapat ditempati prajurit aktif dari 10 menjadi 15. K/L tambahan meliputi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), dan Kejaksaan Agung.

“Selain 15 K/L yang diatur dalam revisi UU, tidak ada penempatan prajurit aktif di mana pun, termasuk di BUMN. Adapun aturan mengenai prajurit aktif TNI tidak boleh berbisnis, itu masih sama dengan aturan sebelumnya, tidak ada yang berubah,” tegas Hergun.

“Jika ada prajurit aktif yang bergabung di luar dari 15 K/L yang telah ditentukan, mereka wajib pensiun,” tambahnya.

Hergun menegaskan bahwa penempatan ini memiliki keterkaitan langsung dengan sektor pertahanan dan keamanan nasional serta bertujuan memberikan payung hukum yang jelas.

“Selama ini prajurit aktif sudah ada di K/L tersebut, namun tanpa regulasi yang mengaturnya di tingkat UU. Revisi ini memastikan tugas-tugas kritis pertahanan berjalan lebih efektif dan profesional,” ujarnya.

“Dalam situasi darurat, kehadiran prajurit TNI sangat penting untuk respons cepat dan efektif,” tambah Hergun. “Ini bukan militerisasi, tetapi penguatan sinergi dalam menghadapi ancaman pertahanan nasional,” lanjutnya.

Pasal 53: Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit

Salah satu poin utama revisi adalah peningkatan batas usia pensiun prajurit. Menurut Hergun, usia pensiun militer di banyak negara berkisar antara 58 hingga 65 tahun. Dengan revisi ini, usia pensiun bagi tamtama dan bintara diperpanjang menjadi 55 tahun, sementara perwira hingga pangkat Kolonel menjadi 58 tahun.

“Kami menemukan realitas banyak dari prajurit kita yang sudah harus pensiun di tengah kondisi mereka yang masih prima, dan bahkan tidak sedikit yang masih harus menyekolahkan anak-anaknya. Jika mereka harus pensiun dalam kondisi tersebut, tentu hal ini akan memberatkan para prajurit ketika purna tugas,” paparnya.

“Perpanjangan usia pensiun ini merupakan wujud kehadiran negara yang sudah sepantasnya diberikan kepada prajurit-prajurit kita yang sudah mempertaruhkan nyawa mereka demi bangsa dan negara,” ujar Hergun.

Dengan sejumlah pertimbangan dan masukan dari berbagai pihak, serta perbandingan dengan praktik di negara lain, lanjut Hergun, revisi UU TNI memutuskan untuk menaikkan usia masa bakti prajurit setingkat tamtama dan bintara hingga 55 tahun. Perwira sampai dengan pangkat Kolonel 58 tahun. Sementara untuk perwira tinggi, usia pensiunnya berjenjang dari 60 hingga 62 tahun.

“Kecuali untuk perwira tinggi bintang 4, dengan usia pensiun 63 tahun dan dapat diperpanjang maksimal dua kali hingga 65 tahun. Hal ini dilakukan tanpa mengorbankan proses regenerasi di tubuh TNI,” ujarnya.

 

Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *