JAKARTA, Fraksigerindra.id — Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Hj. Endang S Thohari  menghadiri Rapat Panitia Kerja (Panja) Kelapa Sawit di Ruang KK IV Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Senin (6/12/2021).

Hj. Endang menyampaikan, ada 5 point, yaitu tentang potensi sawit di Indonesia, perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan, perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, replanting dan dana BPDPKS, opsi strategis dan rekomendasi.

Srikandi Gerindra ini menyampaikan, Market Share Kelapa Sawit Global mencatat, Indonesia sebagai produsen sawit nomor pertama di dunia, sebanyak 37,3 juta ton (55%).

Data sebaran tutupan kelapa sawit Indonesia, terdapat di Sumatera 10,1 juta Ha (62,3%), Kalimantan 5,7 juta Ha (34,2%), Sulawesi 365 ribu Ha (2,2%), Maluku dan Papua 188 ribu Ha (1,1%), Jawa 33 ribu Ha (0,2%), (sumber : Kemenko Ekon 2019).

Industri Minyak sawit memberi kontribusi yang signifikan. Antara lain kepada pertumbuhan perekonomian, kesempatan kerja, peningkatan ekspor dan neraca perdagangan, energi terbarukan dan ketahanan energi, lapangan kerja langsung 4,2 juta orang, lapangan kerja tak langsung 12 juta orang, mendukung ketahanan energy (BBM) pada program mandatori Biodiesel B30 sebesar 8,6 juta KL. Juga sebagai sumber listrik terbarukan dari Biogas sebesar 1.828,68 Megawatt per hour (MWh). (sumber : The National Team For The Acceleration of Poverty Reduction -TNP2K).

Dasar hukum Penataan Kebun Kelapa Sawit Dalam Kawasan Hutan, yakni Peraturan Pemerintah N0 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Denda Administratif Bidang Kehutanan.

Oleh karenanya, perlu adanya penataan atau penyelesaian keberadaan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan segera dilaksanakan. Untuk dapat member kepastian bagi masyarakat dan pelaku usaha.

Beberapa usulan perbaikan, seperti penyelesaian keberadaan perkebunan kelapa sawit masyarakat dalam kawasan hutan, memperhatikan aspek ekologi kawasan serta sosial dan budaya masyarakat.

Kawasan hutan yang ditanami sawit, baik oleh masyarakat maupun perusahaan perkebunan kelapa sawit. Agar dikembalikan sesuai dengan fungsi penetapan kawasan hutan tersebut.

Perusahaan atau pemerintah daerah yang melanggar aturan agar ditindak tegas. Sehingga tidak ada lagi contoh buruk perambahan kawasan hutan yang dijadikan perkebunan kelapa sawit.

 

“Kami minta ditelusuri secara mendalam asal muasal masyarakat merambah kawasan hutan untuk menanam sawit. Jika karena faktor ekonomi, carikan alternatif lahan di Areal Penggunaan Lain (APL) yang dapat menjadi sumber ekonomi masyarakat atau melalui program perhutanan social,” kata Hj. Endang.

Pembenahan akurasi data kebun dengan izin dan data perkebuhan sawit tanpa izin dalam kawasan hutan, perlu ada evaluasi dan dilakukan penundaan penerbitan izin sawit baru.

Didukung dengan agenda yang jelas dan terukur, yakni membangun data yang lengkap untuk mengidentifikasi persoalan sawit dikawasan hutan.

Perkebunan kelapa sawit berkelanjutan tertuang pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO), yang merupakan regulasi teknis yang ditetapkan oleh pemerintah dan diberlakukan secara wajib bagi perushaan perkebunan kelapa sawit.

Kemudian ada juga Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang merupakan kesepakatan anggota. Dimana keanggotaanya bersifat sukarela. Namun penerapan standard bersifat wajib bagi anggotanya.

Masyarakat petani sawit umum tidak memahami standar ISPO tanpa disosialisasikan oleh pemerintah daerah. Serta akan mengimplementasikan RSPO, jika bermitra dengan perusahaan yang masuk dalam keanggotaan RSPO.

Sedangkan perusahaan perkebunan kelapa sawit wajib memenuhi standar ISPO dan jika tergabung dalam keanggotaan RSPO.

Maka akan dituntut untuk melaksanakan Prinsip dan Kriteria RSPO jika minyak sawitnya akan melaksanakan ekspor.

“Masyarakat bisa juga menjadi member RSPO, jika berbadan hokum. Seperti KUD dan bermitra dengan perusahaan kelapa sawit anggota RSPO,” jelasnya.

Perkebunan kelapa sawit yang telah memenuhi standar ISPO maupun RSPO, kata Hj Endang, akan memperoleh sertifikat ISPO maupun RSPO setelah dilaksanakan audit.

Perbedaan pada standar tersebut berdampak pada pengimplementasian manajemen perkebunan kelapa sawit berkelanjutan oleh perusahaan maupun masyarakat.

RSPO dinilai oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menjadi anggotanya sebagai ketentuan standar yang sangat tinggi sehingga untuk memperoleh sertifikat RSPO perlu perjuangan seluruh stakeholder baik di dalam perusahaan maupun masyarakat sekitar perusahaan.

Standar yang ditetapkan akan menjadikan kualitas perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh perusahaan tersebut lebih baik, dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh masyarakat atau perusahaan yang tidak bergabung dalam
keanggotaan RSPO.

“Kami merekomendasikan, agar ISPO dan RSPO dapat saling melengkapi dan dengan bersama dapat menawarkan solusi yang lebih besar. Untuk para pemangku kepentingan dari apa yang dapat dicapai oleh masing-masing. Penerapan prinsip berkelanjutan di
seluruh rantai pasokan minyak sawit Indonesia membutuhkan kerjasama yang signifikan dan efektif antara seluruh pemangku kepentingan. Terutama antara pemerintah dan pasar internasional,” tambahnya.

Perlu kerjasama untuk memastikan berkelanjutan sawit di Indonesia dan merupakan contoh yang baik dalam merespon tuntutan global melalui efisiensi audit dan penyerataan standar ISPO dan RSPO.

Pentingnya Replanting untuk mendongkrak produktivitas lahan kelapa sawit dari produksi 3,6 ton per hektar per tahun menjadi 6-7 ton per hektar/tahun. Target Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) tahun 2020 seluas 180.000 hektar.

Dan terealisasi seluas 94.033 hektare dengan alokasi anggaran Rp. 2.670 triliun. Artinya, masih kata Hj Endang, realisasinya sebesar 52,4%. Realisasi ini sangat kecil mengingat target yang begitu tingginya.

Apakah setiap tahun sejak 2016 sampai 2020 terealisasi seperti ini dan tidak ada perubahan namun targetnya tetap 180.000 hektar.

“Memangkas serangkaian prosedur pengajuan dana PSR harus disosialisasikan oleh pemerintah, mengingat target yang begitu besar namun realisasi yang kecil,” tegas Hj Endang.

Maka dari itu, lanjutnya, tim Panja Komisi IV DPR RI meminta, agar BPDPKS memberikan porsi yang lebih besar untuk Peremajaan Kelapa Sawit. Dan mengurangi alokasi pendanaan Insentif Biodiesel yang tercatat prosentasenya 88,55% dari total dana BPDPKS.

“Kami juga meminta BPDPKS, agar memperhatikan pentingnya kegiatan pemenuhan Sarana Prasarana dan Pengembangan, serta Kemitraan dalam pengelolaan Industri Kelapa Sawit Indonesia, cetus Hj Endang.

Fenomena di lapangan, Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang dilaksanakan oleh Pemerintah melalui Dinas Perkebunan di Kabupaten/Kota mendapat respon yang kurang dari masyarakat.

Masyarakat yang menjadikan kebun sawit sebagai sumber pendapatan utama berpendapat, bahwa jika program replanting dilaksanakan, maka mereka akan menunggu selama 4-5 tahun lagi hingga sawit tersebut baru bisa menghasilkan kembali.

Sementara, dalam jangka waktu panjang itu mereka akan kebingungan mencari lapangan kerja baru. Lain halnya dengan program PSR yang dilaksanakan melalui perusahaan perkebunan kelapa sawit, bebernya.

Perusahaan menjamin lapangan kerja bagi masyarakat pemilik lahan, yang akan digaji oleh perusahaan selama merawat kebunnya sendiri.

Serta dilakukan dengan SOP penanaman, perawatan dan pemanenan. Serta menjamin pasar dengan standar harga yang sesuai untuk dipasok hasil panennya ke pabrik milik perusahaan.

“Kami minta agar dievaluasi mekanisme pelaksanaan program PSR ini, agar efektif dilaksanakan oleh petani sawit. Sehingga program dapat terlaksana tepat sasaran, prosedur, mutu, dan hasilnya,” kata Hj Endang.

Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *