PANDANGAN FRAKSI PARTAI GERINDRA

Pemandangan Umum Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya DPR RI Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022 Beserta Nota Keuangannya

Wihadi Wiyanto, SH., MH.

Komisi XI

19 August 2021

Pemerintah telah menyampaikan enam fokus utama kebijakan APBN 2022: Pertama, melanjutkan upaya pengendalian Covid-19 dengan tetap memprioritaskan sektor kesehatan. Kedua, menjaga keberlanjutan program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan. Ketiga, memperkuat agenda peningkatan Sumber Daya Manusia yang unggul, berintegritas, dan berdaya saing. Keempat, melanjutkan pembangunan infrastruktur dan meningkatkan kemampuan adaptasi teknologi. Kelima, penguatan desentralisasi fiskal untuk peningkatan dan pemerataan kesejahteraan antar daerah. Dan keenam, melanjutkan reformasi penganggaran dengan menerapkan zero based budgeting untuk mendorong agar belanja lebih efisien, memperkuat sinergi pusat dan daerah, fokus terhadap program prioritas dan berbasis hasil, serta antisipatif terhadap kondisi ketidakpastian.

 

Dengan memperhitungkan berbagai dinamika, akselerasi pemulihan ekonomi, reformasi struktural, dan reformasi fiskal, Pemerintah mengusulkan asumsi ekonomi makro untuk penyusunan R-APBN 2022. Antara lain, pertumbuhan ekonomi diusulkan sebesar 5,0 – 5,5 persen. Asumsi ini lebih rendah dari kesepakatan Pemerintah dan DPR pada Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) R-APBN 2022, sebesar 5,2 – 5,8 persen. Penurunan target pertumbuhan ekonomi dari rentang 5,2 – 5,8 persen menjadi 5,0 – 5,5 persen di satu sisi bisa dimaklumi karena kondisi yang dihadapi masih penuh ketidakpastian yang tinggi. Namun di sisi lain, proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,0 – 5,5 persen memberi kesan Pemerintah memaksakan pertumbuhan ekonomi yang harus lebih dari 5 persen, target tersebut rasanya terlalu optimis.

 

Mengacu pada capaian pertumbuhan ekonomi sebelum pandemi Covid-19 yang tidak mencapai target, dan pertumbuhan ekonomi minus 2,07 persen pada tahun 2020, Fraksi Partai Gerindra DPR RI mengingatkan Pemerintah bahwa mematok asumsi pertumbuhan yang terlalu tinggi, jika realisasinya tidak sesuai target perencanaan, bakal berdampak pada penurunan pendapatan negara dan belanja negara di satu sisi, dan disi lain meningkatkan defisit anggaran. Tahun anggaran 2022 adalah tahun terakhir pelebaran defisit anggaran melebihi 3%, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020. UU ini juga mengamanatkan agar dilakukan penurunan defisit anggaran secara bertahap, sebelum kembali ke paling tinggi 3% pada tahun 2023.

 

Realisasi APBN tahun 2020 mencatat defisit APBN sebesar 6,14 persen dan outlook APBN 2021 sebesar 5,82 persen, maka dalam R-APBN TA 2022 Pemerintah mengusulkan defisit sebesar 4,85 persen dari PDB. Angka defisit anggaran ini masih cukup tinggi. Oleh karena itu yang lebih realistis, Fraksi Partai Gerinda DPR RI menyarankan lebih diturunkan lagi, hingga kisaran 4,0 persen sampai 4,5 persen.

 

Nota Keuangan menjelaskan empat pokok kebijakan fiskal dan arah kebijakan belanja negara. Empat pokok kebijakan fiskal RAPBN 2022 adalah: (1) Pemantapan pemulihan ekonomi dengan tetap memprioritaskan penanganan sektor kesehatan; (2) Program perlindungan sosial yang memperkuat fondasi kesejahteraan sosial, mengentaskan kemiskinan dan kerentanan; (3) Mendukung peningkatan daya saing dan produktivitas dengan implementasi reformasi struktural dan reformasi fiskal; (4) Optimalisasi pendapatan dan penguatan spending better.

 

Akan tetapi, Fraksi Partai Gerindra DPR RI mencermati atas rincian postur belanja negara mengindikasikan banyak hal yang tidak sesuai dengan pokok kebijakan fiskal yang diusung. Sekaligus kurang mendukung arah kebijakan belanja negara tersebut.

 

Belanja negara terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat (BPP) sebesar Rp1.938,27 triliun, dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp770,41 triliun. Dibanding outlook APBN 2021, BPP naik sebesar 0,58%, sedangkan TKDD relatif setara atau hanya naik 0,02%.

 

Alokasi TKDD yang tidak mengalami kenaikan tampak tidak mendukung penyebutannya sebagai salah satu arah kebijakan belanja. Bahkan, terjadi penurunan dalam alokasi Dana Desa. Alokasi APBN 2021 sebesar Rp72 triliun dan outlook realisasinya mencapai Rp71,87 triliun. Dalam R-APBN 2022 turun menjadi Rp68 triliun atau turun 5,4% dari outlook 2021.

 

Padahal, Nota Kuangan RAPBN 2022 mengedepankan keberhasilan kebijakan penggunaan Dana Desa pada tahun 2020. Ketika itu difokuskan untuk kegiatan penanganan pandemi Covid-19 dan bantuan sosial berupa BLT Desa. Hal itu dinilai berdampak positif dalam menahan kenaikan tingkat kemiskinan dengan menjaga tingkat konsumsi kelompok termiskin.

 

Fraksi Partai Gerindra DPR RI juga menyoroti tiga pos anggaran yang mengalami penurunan signifikan dari outlook APBN 2021. Fungsi ekonomi dialokasikan sebesar Rp402,36 triliun, turun 12,5% dari Rp459,6 triliun. Fungsi kesehatan sebesar Rp141 triliun atau turun 22,9% dari Rp182,8 triliun. Fungsi perlindungan sosial sebesar Rp252,26 triliun atau turun 10,1% dari Rp280,6 triliun.

 

Fraksi Partai Gerindra DPR RI menyoroti rasio utang Pemerintah, yang proyeksinya dalam KEM-PPKF 2022 berada pada kisaran 43,76 – 44,28 persen dari PDB. Ini berarti naik signifikan dari asumsi rasio utang tahun 2021 sebesar 41 persen. Perlu diingat pula bahwa pada akhir 2020, utang pemerintah telah mencapai Rp 6.080 triliun atau mendekati 40 persen dari PDB. Jauh di atas rasio utang 2019 sebesar 31% dan kondisi akhir 2014 sebesar 24 persen dari PDB.

 

Meski rasio posisi utang atas PDB Indonesia itu diklaim masih aman, bagaimanapun Pemerintah harus mewaspadai dan menjaga agar struktur ULN tetap sehat. Bank Indonesia dan Pemerintah perlu terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Pemanfaatan ULN juga harus terus dioptimalkan menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.

 

Perlu selalu diingat bahwa masalah utang pemerintah bukan hanya pada posisi dan rasio utang. Melainkan, terutama pada bertambahnya beban pembayaran utang, yaitu pelunasan pokok utang dan pembayaran bunga utang. Kemampuan membayar beban utang ini amat bergantung pada besarnya penerimaan negara. Nyatanya, beban pembayaran bunga utang terus meningkat dari tahun ke tahun: 14,1 persen pada 2019; 20 persen pada 2020 dan 21,10 persen pada 2021.

 

Data Fiscal monitor edisi April 2021 dari IMF menyebut penerimaan negara berkembang dan berpendapatan menengah pada tahun 2020 mencapai 25,21 persen dari PDB. Sementara itu, rasio penerimaan Pemerintah Indonesia pada tahun 2020 dilaporkan hanya sebesar 12,36 persen dari PDB. Dengan demikian, meski lebih baik dalam hal rasio utang, namun Indonesia lebih buruk dalam hal kemampuan membayar beban utang.

 

Laporan IMF tersebut juga membuat proyeksi penerimaan negara hingga tahun 2026. Indonesia diproyeksikan hanya sedikit meningkat dari kondisi tahun 2020, yaitu menjadi 12,84 persen. Lagi-lagi masih jauh lebih rendah dari rata-rata negara berkembang dan berpendapatan menengah (termasuk Indonesia) tadi. Sebagai informasi tambahan, proyeksi rasio penerimaan negara atas PDB Indonesia dalam laporan tersebut lebih rendah dibandingkan beberapa negara yang sering disebut memiliki rasio utang lebih tinggi seperti Malaysia, Brazil, Mexico, dan India.

 

Fraksi Partai Gerindra DPR RI mengingatkan Pemerintah bahwa, pertama, negara-negara berkembang dan berpendapatan menengah tersebut tampak lebih baik dalam hal kemampuan membayar beban utang hingga beberapa tahun ke depan. Kedua, data porsi asing atas utang Indonesia termasuk berporsi terbesar, mencapai 50,87 persen pada akhir tahun 2020, menurut laporan IMF. Jauh lebih tinggi dari rata-rata negeri berkembang yang hanya 14,86 persen.

 

 

Dalam dokumen RAPBN TA 2022 ditetapkan beberapa indikator pembangunan: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di kisaran 5,5 – 6,3 persen; Tingkat kemiskinan di rentang 8,5 – 9,0 persen; Rasio gini 0,376 – 0,378; Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di rentang 73,41 – 73,46; Nilai Tukar Petani (NTP) kisaran 102 – 104; dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) 102 – 105.

 

Hadirnya pandemi Covid-19 mulai tahun 2020 membawa pengaruh signifikan terhadap kinerja ekonomi yang berdampak pada kemiskinan. Meskipun tingkat kemiskinan dan rasio gini pada Maret 2021 dilaporkan sempat mengalami penurunan secara terbatas menjadi 10,14 persen dan 0,384, namun untuk menekan tingkat kemiskinan dan rasio gini sebagaimana yang disebutkan dalam RAPBN 2022 diperlukan terus perluasan pelaksanaan perlindungan sosial, stimulus fiskal untuk UMKM, dan penyesuaian realokasi transfer ke daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Untuk efektivitas ketiga program tersebut, penting untuk memastikannya dilaksanakan dengan tepat sasaran.

 

Dalam pada itu, Fraksi Partai Gerindra DPR RI terus mendorong Pemerintah lebih serius lagi, dalam perbaikan data terpadu kesejahteraan sosial dengan data kependudukan untuk intervensi kebijakan afirmasi kelompok 40 persen terbawah. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2020 tercatat 71,94. Angka ini di bawah target dalam APBN 2021 sebesar 72,78 – 72,95, apalagi R-APBN 2022 sebesar 73,41 – 73,46. Artinya, dengan pendidikan jarak jauh yang sudah lebih setahun berjalan, kualitas pendidikan kita dikhawatirkan tidak meningkat seperti diharapkan, dan pada akhirnya indeks IPM kita turut terdongkrak naik.

 

NTP dan NTN setelah Juni 2020 terus membaik hingga kondisi terakhir di Juli 2021, masing-masing berada pada angka 103,48 dan 104,89. Meski angka tersebut telah melampaui target sebesar 102 – 104, Pemerintah harus tetap dapat mengupayakan agar NTP dan NTN terus meningkat dan sesuai target agar kesejahteraan petani dan nelayan semakin meningkat.

 

Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan target pembangunan Indonesi tahun 2022, Pemerintah juga harus meningkatkan pertumbuhan produktivitas di sektor-sektor dengan nilai tambah yang rendah sehingga menjadi multiplier effect terhadap pertumbuhan produktivitas sektor usaha, baik itu di kalangan usaha rumah tangga mapun usaha kecil dan menengah.

 

Reformasi kebijakan harus terus dilakukan untuk menciptakan lapangan pekerjaan, membangun angkatan kerja yang memiliki keterampilan untuk menjalankan berbagai pekerjaan baru di sektor-sektor dengan nilai tambah tinggi serta kompetitif. Inovasi dalam meningkatkan keterampilan angkatan kerja selaras dengan peralihan dan limpahan teknologi hasil dari penanaman modal dan investasi.

 

Pemerintah perlu mempertimbangkan downside risk ke depan melalui perumusan APBN yang sehat, kredibel, dan suistainable sehingga APBN yang kita rumuskan bersama dapat merespon kondisi yang masih dalam ketidakpastian.

 

Strategi penanganan pandemi Covid-19 dari sisi kesehatan, perlu diintensifkan, baik melalui testing, tracing, dan treatment, maupun percepatan program vaksinasi. Perlindungan sosial sebagai bantalan untuk memberikan bantuan terhadap masyarakat, dan dukungan terhadap sektor usaha tahun 2021 ini menjadi kunci dan baseline terwujudnya target kebijakan pembangunan di tahun 2022.

 

Demikian pandangan Fraksi Partai Gerindra DPR RI, kami harapkan catatan-catatan diatas agar dapat menjadi perhatian dan dapat ditindaklanjuti dalam pembahasan selanjutnya dalam rangka penyusunan R-APBN Tahun Anggaran 2022. Terutama dalam kaitannya dengan agenda penguatan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Telegram